Sejarah Festival Nasional Reog Ponorogo
Sejarah Festival Nasional Reog Ponorogo yang Mendunia
kompihub.com – Festival Nasional Reog Ponorogo atau biasa dipersingkat FNRP adalah salah satu festival tahunan yang merupakan salah satu rangkaian acara pesta rakyat Ponorogo di bulan Muharram yaitu Grebeg Suro. Festival Nasional Reog Ponorogo telah dilaksanakan sejak tahun 2004, masih terus dilaksanakan hingga sekarang setiap tahunnya bersamaan dengan perayaan Grebeg Suro. Hal ini juga bersamaan dengan hari jadi Kota Ponorogo, yang telah menjadi salah satu acara yang masuk dalam kalender wisata Jawa Timur.
Pada acara Grebeg Suro, di tiap tahunnya terdiri atas acara-acara yang sarat akan nilai seni dan tradisi, yaitu: Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel, serta Festival Nasional Reog Ponorogo. Festival Nasional Reog Ponorogo dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dengan masa final dilaksanakan pada malam puncak rangkaian acara Grebeg Suro. Pada rangkaian acara Grebeg Suro, final Festival Nasional Reog Ponorogo dilaksanakan pada pada malam 1 Muharram yang biasa disebut dengan 1 Suro pada kalender Jawa. Peserta Festival Nasional Reog Ponorogo berasal dari daerah-daerah seluruh Indonesia seperti Madiun, Malang, Ponorogo, Yogyakarta, Jakarta, dan Kalimantan. Bahkan belakangan ini Festival Nasional Reog Ponorogo sudah mulai merambah ke kancah internasional dengan diikuti oleh peserta dari luar negeri.
Ponorogo
Ponorogo merupakan Kota Reog, karena berdasarkan pada sejarah Reog memang lahir dari kota ini. Ponorogo merupakan salah satu ikon wisata Jawa Timur. Reog sering diidentikkan dengan dunia hitam yang dalam artian berkaitan erat dengan sifat jagoan, dan juga dunia misti supranatural. Satu grup Reog biasanya terdiri atas seorang Warok tua, beberapa Warok muda, Pembarong, penari Bujang Ganong, dan Prabu Klono Sewandono. Di seluruh daerah Ponorogo memiliki banyak grup Reog, bahkan bisa dikatakan minimal satu desa memiliki 1 kelompok kesenian Reog. Sehingga kurang lebih 300-an grup Reog dimiliki oleh Kabupaten Ponorogo.
Para pembarong mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak merak, yaitu topeng raksasa yang memiliki berat hingga 50 kilogram dengan disangga menggunakan kekuatan gigi saja. Alat-alat musik yang dimainkan dalam pertunjukan Reog mampu menghadirkan suasana mistis dan eksotis, namun membangkitkan semangat orang yang melihat maupun para pemainnya. Banyak anggapan dalam pertunjukan Reog kekuatan gaib selalu menyertai, utamanya bagi pembarong untuk bisa menambah kekuatan dalam menyangga topeng dadak merak dengan gigi saja.
Para pembarong pun beranggapan bahwa seorang pembarong membutuhkan wahyu untuk bisa kuat menjadi seorang pembarong, karena tubuh dan gigi yang kuat saja tidaklah cukup. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian, persepsi mistis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing mengatakan bahwa: “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan Reog, itu Jathilan. Dalam Reog, yang diperlukan keindahannya”.
Fungsi Tari Reog Ponorogo
Berdasarkan buku “Ngreog” di Jurug: Kisah Belajar Hidup di Desa Jurug, Ponorogo, pertunjukan kesenian Reog Ponorogo memiliki berbagai fungsi. Dari sisi pertunjukkan, fungsi Reog Ponorogo adalah sarana hiburan masyarakat dan wisatawan, mulai dari domestik hingga mancanegara. Selain itu, terdapat unsur ritual dalam pertunjukan Reog Ponorogo. Dalam jurnal skripsi berjudul Makna Ritual Dalam Pementasan Seni Tradisi Reog Ponorogo dijelaskan, sebuah ritual diadakan sebelum pementasan seni Reog Ponorogo sebagai usaha untuk menghindari berbagai halangan saat pementasan. Sesaji diberikan sebagai pengakuan terhadap keberadaan roh yang dipercaya masyarakat sebagai penunggu barongan.